Salah satu prinsip dalam perencanaan jalur pedestrian adalah memenuhi aspek aksesibilitas, dimana jalur pedestrian harus bisa diakses oleh semua pengguna termasuk penyandang disabilitas. Pembangunan jalur pedestrian yang ramah difabel telah diatur dalam Pedoman Perencanaan Teknis Fasilitas Pejalan Kaki oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Lalu, seperti apa ya jalur pedestrian yang ramah untuk penyandang disabilitas itu? Berikut pembahasannya.
Ruang gerak
Ruang gerak bagi pengguna kruk harus memiliki jangkauan ke samping minimal 95 cm dan jangkauan ke depan minimal 120 cm. Untuk tuna netra, ruang gerak harus memiliki jangkauan ke sampping minimal 90 cm, jangkauan ke depan minimal 95 cm, dan jangkauan ke atas minimal 210 cm. Sedangkan untuk pengguna kursi roda, tinggi ruang gerak maksimal 130 cm dengan lebar dari sisi kanan ke kiri minimal 160 cm.
Ramp / jalur landai
Ramp atau pelandaian adalah perubahan kelandaian trotoar pada perpotongan dengan jalur penyeberang pejalan kaki (zebra cross), baik di persimpangan maupun di ruas jalan serta jalan masuk ke persil.
Jalur landai yang dirancang untuk penyandang disabilitas memiliki persyaratan khusus sebagai berikut:
- tingkat kelandaian tidak lebih dari 8%;
- memiliki pegangan tangan setidaknya di satu sisi namun akan lebih baik jika ada di kedua sisi;
- pegangan tangan harus memiliki tinggi 0,8 meter yang diukur dari permukaan tanah dan panjang pegangan tangan harus melebihi anak tangga terakhir;
- jalur landai harus memiliki penerangan yang cukup.
Passing place
Passing place merupakan tempat yang disediakan untuk berpapasan atau mendahului pengguna jalur pedestrian lainnya. Jika lebar trotoar kurang dari 1,5 meter, maka harus disediakan passing place di lokasi dimana trotoar bisa dibuat lebih lebar. Sebisa mungkin passing place disediakan minimal setiap jarak 50 meter dengan ukuran 1,8 m x 2 m.
Passing place berfungsi sebagai tempat untuk saling berpapasan atau mendahului dua kursi roda. Selain itu juga digunakan oleh pejalan kaki untuk mendahului pejalan kaki lain yang sedang berhenti saat menunggu angkutan umum atau hendak menyeberang.
Rambu-rambu dan marka
Pejalan kaki dengan keterbatasan penglihatan mengandalkan kemampuan mendengar dan merasakan ketika berjalan. Isyarat-isyarat seperti suara lalu lintas, penyangga jalan yang landai, pesan-pesan, dan suara-suara merupakan tanda-tanda dan menjadi sumber peringatan yang bisa dideteksi oleh pejalan kaki.
Oleh karena itu perlu disediakan informasi bagi pejalan kaki dengan keterbatasan, diantaranya: tanda-tanda yang bisa di akses, signal suara yang bisa didengar, informasi lewat getaran, pesan-pesan verbal, dan peringatan-peringatan yang bisa dideteksi.
Guiding block
Guiding block atau jalur pemandu digunakan oleh penyandang disabilitas (tuna netra dan terganggu penglihatan) untuk berjalan dengan memanfaatkan tekstur ubin. Ada dua jenis ubin yang digunakan yaitu ubin pengarah dan ubin peringatan.
Ubin pengarah bermotif garis-garis menunjukkan arah perjalanan. Ditempatkan disepanjang jalur pedestrian (trotoar). Pada sisi kanan dan kiri ubin pengarah harus memiliki ruang kosong 600 mm.
Sedangkan ubin peringatan bermotif bulat, berfungsi memberikan peringatan terhadap perubahan situasi di sekitarnya. Ditempatkan pada pelandaian naik atau turun dari trotoar atau pulau jalan ke tempat penyeberangan jalan. Lebar minimal strip ubin peringatan adalah 600 mm.
Itulah beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam perencanaan jalur pedestrian yang ramah difabel. Penyediaan jalur pedestrian yang memadai diperlukan untuk mewujudkan kesamaan, kesetaraan, kedudukan, dan peningkatan peran penyandang disabilitas.
Leave a Reply